MENUNTASKAN AMANAH SAMPAI TITIK AKHIR PERKALANAN

Guru dalam menyelesaikan tugas akhirnya
MENUNTASKAN AMANAH SAMPAI TITIK AKHIR PERJALANAN
Di balik selimut putih rumah sakit, detak yang pelan dari mesin-mesin medis, pun cahaya lampu neon yang pucat, seorang guru duduk diam dengan laptop terbuka di pangkuannya. Sang guru tahu waktunya tak lama lagi. Tapi ada yang belum selesai–nilai-nilai muridnya. Maka ia ingin menyelesaikan lebih dulu, meluluskan semua nilai muridnya. Sesaat sebelum ajal menjemput, ia memilih: tetap menjadi guru.
Foto itu diambil oleh putrinya, Sandra Venegas, dan menyebar dengan cepat di media sosial. Sandra menulis, "Ayah saya tahu dia akan segera dibawa ke ruang gawat darurat. Maka dia mengemas laptop dan chargernya, dan menyelesaikan semua nilai muridnya." Lalu keesokan harinya, sang ayah, guru itu, pergi.
Kisah ini datang dari negeri seberang yang jauh, tapi resonansinya menampar dekat ke dalam nurani kita di negeri ini. Negara dengan guru-guru honorer yang digaji seadanya. Negara yang sering lupa bahwa masa depan bangsanya lahir dari tangan mereka yang berdiri di depan kelas dengan peluh dan kesabaran, bukan hanya dari para pejabat yang duduk di ruang ber-AC dengan daftar panjang retorika.
Renungkan! Bahkan dalam sakit, dalam hitungan waktu menjelang kematian, seorang guru tetap menyelesaikan amanahnya. Bukan karena paksaan, tapi karena cinta, pun tanggung jawab. Karena bagi seorang guru, mendidik bukan sekadar profesi. Itu adalah napas.
Guru ini adalah simbol dedikasi yang melampaui tubuh, melampaui upah, bahkan melampaui hidup itu sendiri.
Bayangkan! Jika ada satu jiwa guru memiliki cinta sebesar itu untuk anak-anak yang mungkin takkan pernah sempat mengucapkan terima kasih....
Apa yang bisa kita lakukan sebagai murid, sebagai orangtua, sebagai bangsa, untuk membalasnya?
Di Indonesia, terlalu banyak guru seperti dia, tapi kita tak tahu. Bahkan tak mau tahu. Karena mereka tidak memotret diri mereka saat memeriksa PR di tengah malam. Mereka tidak mempublikasikan diri saat membeli kapur tulis dengan uang sendiri. Mereka tidak mengeluh meski sering diremehkan. Tapi mereka terus mengajar. Di pelosok mana pun, di kelas berdinding bambu sekali pun. Bahkan dengan gaji yang jauh dari kata sepadan.
Kisah ini mengingatkan kita, bahwa memang bukan seragam atau bintang di pundak yang membuat seseorang pahlawan. Tapi kesetiaan kepada tugas dan amanah–bahkan ketika tak ada yang melihat.
Guru seperti ini, yang juga banyak berserakan di segenap pelosok tanah air–jelas jauh lebih layak menerima penghormatan tertinggi daripada para pejabat yang hanya menyandang jabatan tanpa makna. Apalagi dibanding para koruptor busuk, bahkan yang menerima pengampunan sekali pun.
By: HT