BARANGNYA MANA?

Sumba Pembaharuan   |   Gaya Hidup  |   Minggu, 25 Mei 2025 - 07:05:25 WIB   |  dibaca: 55 kali
BARANGNYA MANA?

Ilustrasi

BARANGNYA MANA?

𝘖𝘭𝘦𝘩: 𝘏𝘦𝘳𝘳𝘺 𝘛𝘫𝘢𝘩𝘫𝘰𝘯𝘰

Ada jenis keraguan yang bukan lagi bernuansa pencarian, melainkan menjadi profesi. Kita menyaksikan satu sosok—yang dulunya pernah diberi kepercayaan publik, meski tak hafal lagu kebangsaan, mantan pejabat—namun kini menjelma menjadi “mantan yang tak mau selesai.” Ketika kebenaran telah diumumkan oleh otoritas resmi–Bareskrim Polri, bahwa Ijazah Jokowi 𝗮𝘀𝗹𝗶–orang ini masih saja 𝘸𝘢𝘵𝘰𝘯 𝘯𝘨𝘦𝘺𝘦𝘭 bertanya dengan nada setengah nyinyir: "Barangnya mana?"

Bukan ingin tahu, tapi ingin menyangkal.

𝗣𝘀𝗶𝗸𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗟𝘂𝗸𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗠𝗮𝘂 𝗦𝗲𝗺𝗯𝘂𝗵

Psikologi sosial menyebut ini sebagai 𝘤𝘰𝘨𝘯𝘪𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘥𝘪𝘴𝘴𝘰𝘯𝘢𝘯𝘤𝘦 (Leon Festinger, 𝘈 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘊𝘰𝘨𝘯𝘪𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘋𝘪𝘴𝘴𝘰𝘯𝘢𝘯𝘤𝘦).

Teori ketegangan batin saat realitas menghantam keras dinding keyakinan pribadi. Dalam keadaan ini, banyak orang memilih menyangkal kebenaran daripada membongkar ulang bangunan keyakinan yang telah lama dihuni.

Namun dalam dosis kronis, disonansi ini bisa melahirkan 𝘥𝘦𝘭𝘶𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯𝘤𝘦 (Albert Ellis secara tidak langsung membahas bentuk irasionalitas ini)—ketika seseorang mempercayai sesuatu begitu kuat, hingga seluruh fakta yang berlawanan dianggap sebagai bagian dari konspirasi. Di sinilah muncul apa yang bisa kita sebut sebagai “penyebar kabut”—mereka yang tak hanya tersesat, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘴𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢.

Ditambah lagi dengan 𝘤𝘰𝘯𝘧𝘪𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘣𝘪𝘢𝘴 (Ray Nickerson)—kecenderungan menyerap hanya informasi yang cocok dengan narasi pribadi—maka kebenaran bukan lagi soal bukti, melainkan soal loyalitas pada versi yang sudah terlanjur diyakini.

Dan ketika emosi menjadi bahan bakar: dendam, kekecewaan, gengsi yang mengeras, maka disonansi itu bisa menjadi 𝘦𝘱𝘪𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘴𝘰𝘴𝘪𝘢𝘭.

𝗠𝗲𝗻𝘂𝗹𝗮𝗿 𝗟𝗲𝘄𝗮𝘁 𝗘𝗺𝗼𝘀𝗶

Semua fenomena tersebut berbahaya, sekaligus menular. Dalam dunia digital, satu suara sumbang bisa menjadi simfoni kebingungan. Bukan karena kebenarannya kuat, tapi karena nadanya terus diulang—hingga menggoyahkan mereka yang rapuh, ragu, atau tak sempat mencerna.

Dalam sosiologi, fenomena ini dikenal sebagai 𝘮𝘰𝘳𝘢𝘭 𝘱𝘢𝘯𝘪𝘤 (Stanley Cohen, 𝘍𝘰𝘭𝘬 𝘋𝘦𝘷𝘪𝘭𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘔𝘰𝘳𝘢𝘭 𝘗𝘢𝘯𝘪𝘤𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘊𝘳𝘦𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘔𝘰𝘥𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘙𝘰𝘤𝘬𝘦𝘳𝘴): keresahan yang dibentuk oleh hasutan kolektif, bukan oleh kebenaran. Media sosial mempercepatnya. Suara-suara sinis saling menyambut dalam gema algoritma, menjelma jadi orkestrasi ke(curiga)an. Yang awalnya hanya satu pertanyaan retoris—"Barangnya mana, atau Mana Barangnya?"—berubah menjadi 𝗶𝗻𝘀𝗶𝗻𝘂𝗮𝘀𝗶 yang menyulut, seolah kecurigaan itu adalah bentuk kecerdasan.

Padahal, yang sedang dimainkan bukanlah logika, melainkan ilusi kendali atas narasi yang telah lepas dari genggaman.

𝗞𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗥𝗮𝘀𝗮 𝗠𝗮𝗹𝘂 𝗧𝗮𝗸 𝗟𝗮𝗴𝗶 𝗝𝗮𝗱𝗶 𝗥𝗲𝗺 𝗦𝗼𝘀𝗶𝗮𝗹

Dalam tradisi Timur, ada etika bernama 𝘁𝗮𝗵𝘂 𝗱𝗶𝗿𝗶. Nilai ini mengajarkan bahwa ada saatnya seseorang memilih diam, bukan karena tak punya suara, tetapi karena suara yang akan keluar hanya akan menambah kebisingan. Namun kini, rasa malu telah digantikan oleh ego yang lapar akan relevansi. Semakin tak punya isi, semakin keras bicara.

Orang yang kehilangan rasa malu bisa menjadi "bahaya yang menyebar dengan diam-diam". Seperti asap dari api yang tak terlihat, ia masuk ke celah logika masyarakat—dan perlahan-lahan, membuat kebenaran tampak seperti opini belaka.

𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗥𝘂𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗲𝗻𝗶𝗻𝗴

Kadang, kita tidak sedang berhadapan dengan argumen, tapi dengan luka yang belum selesai. Dan luka yang dipelihara terlalu lama, akan berubah jadi identitas. Dalam keadaan seperti itu, mengajak bicara pun menjadi tugas sunyi: karena logika tak lagi berfungsi, dan setiap fakta dianggap ancaman.

Apa yang dibutuhkan bangsa ini bukanlah lebih banyak penggugat, tapi lebih banyak penjernih.

Bukan mereka yang mempertanyakan segalanya demi sorotan, tapi mereka yang berani diam demi integritas.

Dan jika masih ada yang bertanya:

"Barangnya mana?".....maka kita tak perlu lagi menunjukkan dokumen—cukup kita sodorkan cermin. Agar siapa pun yang melihat, tak hanya melihat kebenaran, tapi juga melihat dirinya sendiri.

Dan seperti yang diajarkan oleh sejarah dan para pendidik batin: kadang–kita tidak bisa menyembuhkan orang yang menolak disembuhkan. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘶𝘭𝘢𝘳. 𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨, 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘤𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯.

                       ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Profil Sumba Pembaharuan

Sumba Pembaharuan

hi ....

Web Master dari Erdo.wgp@gmail.com

Jl. H. R. Horo 22 Matawai Waingapu Sumba Timur NTT

Hubungi kami di 0823 4014 5111


Komentar



Masukan 6 kode diatas :
huruf tidak ke baca? klik disini refresh



Komentar Facebook