KETIKA PENJAGA KONSTITUSI MENYEBRANG GARIS

KETIKA PENJAGA KONSTITUSI MENYBERANG GARIS
Ketika Mahkamah Konstitusi mulai bersikap seperti pengatur panggung, bukan lagi wasit agung, maka kehidupan demokrasi perlahan kehilangan sumbunya. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah bukan hanya mengejutkan, tetapi juga mengguncang nalar hukum dan keadilan konstitusional.
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyebut dengan tegas: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Tidak disebut pemisahan. Tidak dibayangkan pemecahan. Karena yang ingin dijaga bukan sekadar periode, tapi kesinambungan suara rakyat dalam satu tarikan napas.
Lestari Moerdijat dari Partai NasDem menyuarakan yang seharusnya menjadi kegelisahan banyak pihak: pemisahan pemilu tak hanya mencederai kepraktisan demokrasi, tapi juga berpotensi merobek-robek keutuhan mandat rakyat. Sebab pemilu bukan hanya soal memilih, tapi momen rakyat menata arah. Jika arah itu dipenggal, maka keutuhan kehendak rakyat ikut disayat.
Yang lebih mengkhawatirkan, Mahkamah Konstitusi–yang sejatinya benteng terakhir konstitusi–terasa mulai menjelma sebagai pemilik tafsir tunggal yang tak tersentuh. Dalam sejarah republik, tak banyak lembaga yang bisa membuat keputusan final tanpa mekanisme koreksi. Tapi kini, MK tampak berdiri di puncak piramida, sendirian, tak tersentuh, dan–jika tak dikritisi–bisa jadi tak terkoreksi.
Maka jika keagungan sebuah lembaga tak lagi tunduk pada nalar publik dan semangat konstitusi, kita tak sedang menjaga hukum–kita sedang melestarikan ketakutan. Dan jika ini terus dibiarkan, rakyat perlahan akan kehilangan kepercayaan. Bukan hanya pada pemilu, tapi pada republik itu sendiri.
Karena itu, bukan hanya NasDem, tapi semua anak bangsa perlu bertanya: siapa yang akan menjadi penjaga konstitusi, ketika ia mulai menyeberang garis?
By: HT